ini adalah iklan oleh pihak ketiga
Pemerintah perlu merampungkan pembahasan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (CNN Indonesia/Safir Makki)
JAKARTA - Sepanjang tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menitahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengamankan penerimaan pajak sebesar Rp1.307,6 triliun guna menutup sekitar tiga per empat dari target Rp1.750,3 triliun.
Dari target pajak tersebut, DJP rupanya mampu menjaring sekitar 26,28 persen atau sebanyak Rp343,7 triliun penerimaan pajak selama periode Januari-April 2017.
Bahkan, capaian tersebut berhasil tumbuh positif sekitar 18,19 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada Januari-April 2016, yang hanya sebesar Rp290,8 triliun atau tumbuh minus 8,3 persen.
Menurut DJP, keberhasilan meraup pajak dalam empat bulan pertama di tahun ini tak lepas dari kontribusi penerimaan pajak yang didapat dari program pengampunan pajak atau tax amnesty, yang masih berlangsung sampai 31 Maret lalu.
Selain itu, ada tambahan penerimaan dari kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak 2016 yang meningkat dibandingkan pelaporan SPT 2015 pada tahun lalu.
Data DJP sampai 30 April 2017 mencatat, tingkat kepatuhan wajib pajak sekitar 68,48 persen atau membaik dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yang hanya mencapai 56,09 persen.
Hanya saja, di sisa delapan bulan terakhir, DJP masih punya tanggung jawab mengisi kekurangan kantong negara dari pajak senilai Rp963,9 triliun.
Jumlah itu tentu tak mudah dikejar, apalagi bila dibandingkan dengan tahun lalu, pemerintah tak lagi punya program tax amnesty yang cukup berhasil menambal penerimaan di pengujung tahun.
Dengan beban tersebut, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP R. Dasto Ledyanto menilai bahwa institusinya memang perlu meninjau kembali potensi penerimaan pajak dari objek, jenis, dan tarif pajak yang telah diberlakukan sekarang ini untuk menutup kebutuhan penerimaan negara.
Menurutnya, tak menutup kemungkinan bila kemudian DJP memperluas pengenaan pajak, baik dari sisi objek, jenis, dan tarif pajak yang telah ada. Sayangnya, berdasarkan asumsinya, hal tersebut tak bisa dilakukan DJP di tahun ini lantaran pengaturannya harus diproses berdasarkan Undang-Undang (UU).
"Terkait perubahan atau pengaturan jenis pajak baru, itu tetap diatur dalam UU. Sudah jelas dalam UU bahwa pengenaan pajak untuk keperluan penerimaan negara itu diatur di UU," kata Dasto kepada CNNIndonesia.com, Selasa sore (16/5).
"UU itu harus melalui rapat dengar dengan masyarakat dan pembahasan UU di DPR secara terbuka. Nah, sekarang ini, UU KUP dulu, sisanya masih ada UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," jelas Dasto.
Sementara, hingga saat ini, penerimaan pajak disumbang oleh PPN dalam negeri dan impor sebanyak Rp13,6 triliun, PPh minyak dan gas (migas) dan non-migas sebanyak Rp220,7 triliun, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp119,1 triliun, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp598 miliar sampai 30 April 2017.
E-Commerce dan BUT
Menurut Dasto, perluasan pajak oleh DJP dapat dilakukan dengan mengatur kembali ketentuan dan tarif pajak yang dipungut dari industri perdagangan elektronik (e-commerce) dan perusahaan dengan status Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Kedua opsi tersebut sejalan dengan pertumbuhan industri e-commerce dan perusahaan BUT yang memberikan potensi pajak yang tak sedikit.
"E-commerce itu (saat ini) sama pengenaan pajaknya, dari penghasilan bersihnya setelah dikurangi biaya segalanya. Tinggal nanti mengukur berapa besar peredaran usahanya, berapa biaya dia, penghasilannya. Kemudian, dapatlah penghasilan kena pajaknya," jelas Dasto.
Sayangnya, perluasan tersebut tetap belum bisa dilakukan lantaran harus melalui pembahasan UU. Sementara berdasarkan aturan saat ini, pengenaan pajak bagi e-commerce dikenakan berdasarkan dua jenis pajak.
Pertama, PPh. E-commerce dikenakan pajak dari penghasilan bruto dari penjualan yang dikurangi dengan biaya penghasilan serta untuk wajib pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan penghasilan netto dengan menggunakan norma perhitungan Pasal 14 UU PPh dan untuk wajib pajak orang pribadi dikurangi PTKP.
Kedua, PPN. E-commerce dikenakan pajak saat penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) untuk transaksi cash on delivery atau saat pembayaran diterima oleh penyelenggara e-commerce atas pembelian BKP atau JKP untuk transaksi non-cash on delivery.
Namun, ada pengecualian pemungutan pajak bagi e-commerce berstatus rintisan (startup) di mana sesuai dengan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV, pemerintah memberikan insentif kepada e-commerce berupa pengurangan pajak bagi investor lokal yang berinvestasi pada e-commerce startup, yakni, e-commerce beromzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun hanya dikenakan pajak final sebesar 1 persen. (cnnindonesia)