ini adalah iklan oleh pihak ketiga
NYADRAN PRINGAPUS: Warga di lereng timur Gunung Sindoro, Desa Pringapus, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung menggelar nyadran di pelataran Candi Pringapus yang bercorak Hindu-Siwa, Jumat (19/5). (suaramerdeka.com/Raditia Yoni Ariya)
BOLA mata Siti (58) tampak berbinar-binar, senyumnya sumringah secerah cuaca pagi di lereng sisi timur Gunung Sindoro. Sesekali gelak tawa petani sayur kenci ini terdengar renyah ketika lontaran canda keluar dari mulut para tetangganya, yang berjalan beriringan menuju pelataran Candi Pringapus.
Siti adalah satu dari ratusan warga Desa Pringapus, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung yang hendak mengikuti ritual Nyadran. Wanita paruh baya pemeluk agama Islam yang rambutnya sudah sedikit beruban ini melangkah sembari menyunggi ingkung ayam, nasi bucu, telor rebus, dan jajan pasar.
“Ada kewajiban bagi warga yang membawa ingkung ayam betina untuk menyertakan pula satu telur ayam kampung atau ndog pitik Jawa sebagai tetenger kita orang Jawa. Sedangkan untuk ingkung ayam jago tidak diwajibkan membawa telur. Lalu ada nasi golong gilig sebagai perlambang kerunan antar warga,” ujarnya Jumat (19/5).
Jika jamaknya, nyadran dilakukan di area makam atau pepunden desa, di padusunan ini justru dilakukan dengan cara agak berbeda, yakni di pelataran Candi Pringapus. Candi ini berartistik Hindu-Siwa dan diperkirakan telah ada sejak tahun 850 Masehi pada masa kejayaan Dinasti Sanjaya era Mataram Kuno.
Tepat di hari Jumat terakhir sebelum Ramadan, prosesi nyadran dimulai pukul 10.00. Ratusan warga berduyun-duyun menuju pelataran candi. Mereka berkumpul dan mendengar wejangan tentang lelaku hidup dan kehidupan yang dikatakan oleh sesepuh desa dalam bahasa Jawa krama inggil.
Tak lama kemudian terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran. Laki-laki perempuan tua muda, sampai anak-anak tampak khusuk mengikutinya dengan tangan menengadah mengucapkan Amin. Sejenak suasana menjedi hening. Namun beberapa menit kemudian kembali riuh, setelah warga dipersilakan untuk menyantap hidangan yang dibawa seperti ingkung, jajanan pasar, dan buah-buahan.
Kaur Kesra Desa Pringapus Sutopo (50), mengatakan, nyadran digelar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Meski demikian nyadran di desanya tidak hanya milik umat Islam saja, tetapi siapapun dengan agama apapun dipersilakan jika ingin mengikutinya.
“Mengenai nyadran di pelataran Candi Pringapus itu memang sudah tradisi sejak zaman nenek moyang kami. Tujuannya kirim doa kepada leluhur, mensucikan diri jelang Ramadan. Nah, di sini kami menunjukkan kerukunan karena nyadran itu tradisi Jawa, candinya bercorak Hindu, doanya Islam, dan warga kami tidak hanya Islam tapi agama lain juga ada tapi semua hidup berdampingan,” katanya.
Lelaki berkumis tebal itu menjelaskan, pluralisme di desanya terpelihara baik sejak lama dan salah satunya terjalin melalui nyadran. Bahkan mungkin hidup damai dalam perbedaan itu seumuran candi yang sampai kini masih berdiri kokoh itu. Perbedaan agama tidak pernah dibesar-besarkan, bahkan justru sebaliknya dijadikan sebagai alat persatuan. (SM)